TENTANG KHILAFAH : PERTANYAAN DAN JAWABAN
Apa yang dimaksud khilafah ?
Khilafah berasal dari kata kholafa yakhlufu khilafatan, yang bermakna mengganti. Jadi khilafah adalah pengganti Rasulullah, dan orang yang menggantikan sesuatu disebut kholifah. Itulah mengapa Sayyidina Abu Bakr dipanggil dengan sebutan (pengganti Rasulullah), dan Sayyidina Umar dipanggil dengan Kholifatu kholifati Rosulillah (pengganti kholifahnya Rasululullah), namun kemudian beliau mengganti sebuatn tersebut dengan Amirul Mu’minin (pemimpin kaum muslimin), yang kemudian dipakai oleh kholifah setelah beliau. Istilah yang mirip dengan khilafah adalah imamah, dan kholifah disebut sebagai imam.
Bagaimana hukum mengangkat kholifah ?
Mengangkat kholifah dalam arti pemimpin masyarakat yang mengatur urusan kaum muslimin (ulu-l amri) adalah wajib hukumnya, berdasarkan akal dan naql (dalil Qur’an dan Hadits). Dalil akal : kalau tidak ada pemimpin maka masyarakat akan kacau balau. Dalil naql , Allah SWT berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian pada Allah, taatlah kalian pada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Hanya saja, kholifah secara esensial tidak harus bernama kholifah, namun bisa juga diberi nama presiden (seperti di Indonesia dan Mesir), perdana menteri (seperti di Turki dan Malaysia) atau raja (seperti di Saudi, Yordania dan Maroko)
Apakah ummat Islam sedunia harus di bawah pimpinan satu orang kholifah ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat :
Apakah yang dimaksud khilafah Islamiyyah ?
Ada banyak penafsiran tentang khilafah Islamiyah. Namun menurut saya secara mudah khilafah Islamiyah bisa disebut sebagai pemerintahan Islami (bentuk susunan kalimatnya taushify, jadi khilafah adalah man’ut dan islamiyyah adalah na’at) dan bukan pemerintahan Islam (yang kalau diterjemah dalam bahasa arab menjadi Khilafat-ul Islam). Jika satu pemerintahan bertindak adil, menaungi kebenaran dan memerangi kebathilan, maka ini adalah satu unsur dari pemerintahan yang Islami. Mencari khilafah Islamiyyah yang sempurna (dalam arti semua unsur ajaran Islam dilaksanakan secara paripurna, baik aqidah, syariah, maupun akhlaq) sepertinya tidaklah mungkin, kecuali mungkin di masa Nabi dan Khulafa’ Rosyidun. Jadi, yang bisa kita katakan : semakin banyak unsur ajaran Islam dilaksanakan dalam satu pemerintahan, semakin dia mendekati khilafah yang Islamiyyah. Jadi khilafah Islamiyyah adalah sebuah proses, dan bukan sebuah hasil akhir yang akan terjadi bila telah terpilih seorang kholifah.
Bagaimana syarat-syarat untuk bisa menjadi kholifah ?
Ada banyak pendapat ulama’ tentang syarat imamah (menjadi kholifah), artinya tidak ada pendapat yang seragam dalam kalangan ahli fiqh. Imam al Mawardy dalam kitab al Ahkamus Sulthoniyyah misalnya menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi kholifah seperti laki-laki, sehat jasmani rohani dan sebagainya
Bagaimana dengan hadits fuu bil bay’at-il awwal (tepatilah bay’at pertama) ?
Menafsirkan hadits ini harus hati-hati, karena mengandung beberapa musykilat (problematika) antara lain :
a) apa yang dimaksud dengan bay’at pertama ? Apakah bay’at yang dilakukan pertama kali oleh sekelompok orang tertentu, walaupun ia mungkin tidak berhak memilih sebagai ahl-ul hall-i wa-l aqd-i seperti bay’atnya kelompok pemberontak pada Sayyidina Ali yang oleh beliau kemudian ditolak, dengan menyatakan bahwa dalam urusan ini yang berhak adalah para ahli badr ? (Harap diingat, bahwa definisi dan syarat-syarat ahl-ul hall-i wa-l aqd-i bukanlah sesuatu yang dipahami dan disepakati oleh seluruh ummat Islam). Atau, seperti pertanyaan Imam asy Syaukani, bagaimana mungkin orang Indonesia akan membay’at orang Saudi Arabia misalnya, padahal tempat mereka berjauhan dan tidak saling mengenal satu sama lain?. Menurut asy Syaukani, orang yang mengusulkan ini ia sebut sebagai kurang rasional dan tidak logis.
b) bagaimana jika yang dibay’at pertama kali adalah orang yang tidak berhak menjadi khalifah, seperti Yazid bin Mu’awiyah karena Mu’awiyah berjanji pada Sayyidina Hasan akan menyerahkan urusan penggantinya pada kaum muslimin namun ternyata beliau mengangkat anaknya sebagai kholifah;
c) bagaimana jika pemilik bay’at pertama telah kalah dalam pertempuran pemberontakan, sehingga secara de facto sebenarnya ia telah tidak memiliki kuasa walaupun secara de jure (hukum formal) mungkin masih disebut kholifah, seperti kasus pemberontakan Bani Abbas terhadap Bani Umayyah, dan banyak lagi pergantian kekuasaan yang melewati jalur pemberontakan ? Apakah kemudian Bani Abbas dinyatakan tidak sah, atau mereka akan dinyatakan sebagai penguasa yang sah karena secara de facto telah berkuasa (atau yang lazim disebut dalam ilmu fiqh sebagai waliyy-ul amr-idl dlorury bi-sy syawkah yang oleh orang NU pernah disematkan pada Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin).
BAGAIMANA CARA SUKSESI DALAM FIQH ?
Dalam hal suksesi (pergantian kekuasaan) sebenarnya tak ada prosedur yang didasarkan nash yang pasti (qoth’i) dalam qur’an dan hadits. Namun, berdasar praktek sejarah Islam (dan kemudian dijadikan dasar fiqh) ada 3 cara : pemilihan (baik langsung seperti pada pemilihan Sy. Abu Bakr di Saqifah Bani Saidah dan Sy. Ali dalam kondisi kacau, maupun tidak langsung seperti pemilihan Sy. Utsman oleh tim 6 bentukan Sy. Umar), dengan penunjukan (seperti pemilihan Sy. Umar oleh Sy. Abu Bakr. Cara ini yang paling banyak dipakai dalam kerajaan Islam sejak Bani Umayyah hingga Saudi saat ini) maupun dengan perebutan kekuasaan (bisy syawkah) seperti dalam pendirian Bani Abbas, Bani Fathimiyyah, Bani Umayyah Spanyol dan sebagainya. Jadi, tak ada metode suksesi yang paten dalam ajaran Islam.
Apakah khilafah Islamiyah adalah solusi bagi masalah ummat Islam saat ini ?
Kholifah pada dasarnya adalah institusi politik, seperti presiden atau raja, hanya saja menggunakan istilah bahasa Arab. Karena itu, sejarah membuktikan ada kholifah yang baik dan ada pula yang tidak baik, sebagaimana ada presiden dan raja yang baik dan ada pula yang tidak baik.
Ada kholifah bernama Yazid bin Muawiyah yang menggantikan ayahnya. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun (60 – 63 H.) namun dalam pemerintahannya terjadi tiga peristiwa yang termasuk paling buruk dalam sejarah Islam (pembunuhan Sayyidina Husain cucu Rasulullah dan keluarganya di Karbala, peristiwa Harroh (penghalalan pembunuhan, perampokan dan kejahatan selama 3 hari di Madinah), dan penyerangan terhadap Ka’bah di Makkah. Kholifah Abdul Malik bin Marwan dalam sejarah adalah kholifah besar dari Bani Umayyah. Namun dia memiliki panglima perang yang kejam yaitu al Hajjaj bin Yusuf yang terkenal membunuh banyak ummat Islam, termasuk di antaranya adalah ulama’ besar Said bin Jubair murid Ibn Abbas.
Disamping itu, ada juga kholifah yang baik dan adil. Sejarah mencatat nama Khulafa’ Rosyidun yang empat sebagai orang-orang yang baik dalam memegang amanah. Juga Umar ibn Abdil aziz, Harun ar Rasyid dan al Ma’mun yang membangun peradaban Islam [walaupun al Ma’mun pula yang memulai mihnah kholqil Qur’an (inkuisisi atas dasar isu penciptaan Qur’an) yang menyebabkan banyak ulama’ sunni ditahan, termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal], Abdurrahman an Nashir di Andalusia dan sebagainya.
Jadi, pelaksanaan sistem khilafah atau kholifah ada yang baik dan ada yang buruk yang sangat tergantung pada siapa yang menduduki jabatan tersebut. Mereka yang membaca kitab seperti Tarikh-ul Khulafa’ karya as Suyuthi tahu persis hal ini. Patut dicatat, bahwa dalam sejarah Islam kekuasaan kholifah sangat kuat (powerful) sehingga jika dipegang oleh orang baik maka bisa sangat baik, namun jika dipegang oleh orang yang tidak baik akan menjadi sangat tidak baik. Dalam sejarah Islam juga tercatat bahwa hampir semua pemilihan kholifah adalah berdasar penunjukan oleh kholifah sebelumnya, sehingga dapat memungkinkan terjadinya politik dinasti yang tidak pasti membawa kebaikan pada ummat Islam. Sebagai catatan, hingga saat ini politik dinasti ini masih berlangsung di sebagian besar negara Arab seperti di Arab Saudi, Yordania, Maroko, Syiria, Kuwait dan sebagainya.
Apakah demokrasi adalah sistem yang BERTENTANGAN DENGAN islam ?
Sangat tergantung pada pemahaman kita tentang apa itu demokrasi. Kalau kita mengartikan demokrasi sebagai kebebasan yang tanpa batas (dan itu tak mungkin terjadi), maka demokrasi itu jelek. Kalau kita mengartikan demokrasi adalah kekuasaan rakyat di atas kekuasaan Tuhan (dalam arti atas nama rakyat bisa berbuat sewenang-wenang terhadap agama seperti terjadi di Swiss dalam bentuk pelarangan menara masjid berdasar hasil referendum, pelarangan jilbab di Prancis dan Turki) maka ia jelek adanya. Tapi kalau kita melihat demokrasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan dari rakyat, oleh rakyat dan terutama untuk rakyat, maka hal ini baik adanya.
Ada dua cara untuk meninjau demokrasi. Yang pertama secara filosofis, dan ini yang biasa dipakai oleh penentang demokrasi. Alasan menentang demokrasi adalah karena kekuasaan rakyat dianggap akan menafikan kekuasaan Tuhan dalam arti hukum Allah akan bisa digeser oleh hukum manusia. Dalam hal ini patut ditegaskan dua hal : a) kekuasaan Allah tidak akan berkurang oleh kekuasaan manusia, karena Allah SWT adalah pemilik dan pencipta alam semesta; b) penggeseran hukum Allah dengan hukum manusia juga bisa berlangsung dalam sistem khilafah, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Hal ini karena pelaksanaan hukum Islam sekalipun harus dilaksanakan oleh manusia, sehingga pelanggaran terhadap hukum Islam bisa saja dilakukan oleh penguasa dengan gelar kholifah sekalipun. Kenyataan semacam inilah yang membuat tokoh pemikir sekelas Abul A’la Maududi yang pada awalnya mengusulkan teokrasi (kekuasaan Tuhan) sebagai pengganti demokrasi, akhirnya harus berkompromi dengan membuat konsep teodemokrasi (kekuasaan Tuhan dan rakyat, atau mungkin dimaknai kekuasaan rakyat dengan dasar ketuhanan).
Yang kedua tinjauan praktis yang hanya memahami demokrasi sebagai metode pengambilan keputusan dengan melibatkan rakyat. Misalnya, presiden dipilih oleh rakyat, DPR dipilih rakyat dan lain sebagainya. Keputusan yang dihasilkan oleh mekanisme ini sangat tergantung pada pemikiran yang ada di kalangan rakyat. Jika rakyatnya baik, maka insyaalLah yang terpilih adalah orang-orang baik. Dalam mekanisme semacam ini, hukum Islam bisa berkembang tanpa merubah sistem secara keseluruhan secara frontal (karena hal seperti itu seringkali mengalami kegagalan). Dalam sejarah Indonesia, masuknya UU Perkawinan Islam merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi bisa berpihak pada hukum Islam jika rakyat (dalam arti wakil-wakilnya) mau mendukung. Jika mereka tidak mendukung, maka walaupun UU yang ada telah berdasar hukum Islam, namun dalam pelaksanaannya hampir bisa dipastikan akan mengalami kegagalan. Dalam pemahaman kedua inilah demokrasi tidak mesti bertentangan dengan Islam bahkan bisa saja kompatibel (sejalan) dengan Islam jika memang rakyatnya telah memahami keagungan ajaran Islam.
Perlu diketahui, ada dua jenis demokrasi :
a) Demokrasi prosedural : yakni pengambilan keputusan dari rakyat dan oleh rakyat. Bentuk prosedur demokrasi yang paling jelas dalam hal ini adalah Pemilu (satu hal yang sebenarnya tidak dilarang dalam hukum Islam)
b) Demokrasi Substansial : pengambilan keputusan untuk rakyat. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa 4 kholifah adalah demokrat, dalam arti kebijakan mereka sangat memerhatikan kepentingan rakyat. Ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena kaidah fiqh yang terkenal mengatakan : tashorruful imam alar ro’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijaksanaan pemimpin atas rakyatnya tergantung pada maslahah).
Jadi, demokrasi sebagaimana khilafah, sangat tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan karena hukum Islam sekalipun bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Firman Allah SWT yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan bathil, kemudian kamu bawa kasusnya kepada hakim-hakim supaya kalian bisa memakan harta manusia dengan berdosa sedangkan kalian mengetahui (QS. Al Baqoroh :
Perlukah memperjuangkan hukum Islam dalam negara ?
Perlu, karena sepanjang yang saya ketahui tidak ada hukum yang lebih sempurna dari hukum Islam. Hanya saja harus dipahami 3 hal :
a) hukum Islam mencakup ranah yang sangat luas, mulai dari ibadah, muamalah, munakahah, jinayah dan sebagainya. Hukum Islam juga mencakup madzhab-madzhab dengan beragam pendapatnya. Memasukkannya dalam hukum negara memerlukan pemikiran yang matang dari ummat Islam sendiri. Pengalaman yang ada terkadang adalah madzhab yang dipegang penguasa yang kemudian dijadikan alat penekan kelompok yang lain atas nama Islam, sebagaimana terjadi di masa al Ma’mun yang bermadzhab Mu’tazilah yang menekan kelompok Sunni dalam urusan kholqul Qur’an (apakah al Qur’an makhluq atau bukan), pemerintah Saudi yang mencap ulama’ yang melakukan maulid Nabi sebagai ahli bid’ah yang terkadang diusir dari Saudi (seperti kasus yang terjadi pada Habib Zain bin Sumaith), pemerintah Iran yang menekan muslim Sunni dan sebagainya. Dalam konteks ini, bisa dipahami usulan sebagian kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai inspirasi dan bukan aspirasi, karena dalam konteks hukum ada banyak madzhab yang berkembang dalam sejarah hukum Islam sehingga memilih pendapat mana yang kompatibel untuk suatu tempat tentu saja bukan hal yang mudah, dan memerlukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dari pihak-pihak yang berkompeten. Atau bisa saja kita memakai sistem yang diusulkan Hasan al Banna : bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling menghormati dalam hal-hal yang kita berbeda.
b) Masuknya hukum Islam dalam hukum sebuah negara tidak dengan serta merta menyelesaikan permasalahan ummat, karena masih tersisa masalah penegakan hukum tersebut dan hal ini akan melibatkan faktor manusia (penegak hukum) yang menegakkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : “Sesungguhnya yang menghancurkan ummat sebelum kalian adalah jika ada orang kuat mencuri dibiarkan, dan jika ada orang lemah mencuri maka ditegakkanlah hukum”. Dalam hal ini patut direnungkan kata-kata yang dikutip Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah : “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil walaupun penduduknya kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang dholim walaupun penduduknya muslim”.
Wallahu a’lam bish showab.
Apa yang dimaksud khilafah ?
Khilafah berasal dari kata kholafa yakhlufu khilafatan, yang bermakna mengganti. Jadi khilafah adalah pengganti Rasulullah, dan orang yang menggantikan sesuatu disebut kholifah. Itulah mengapa Sayyidina Abu Bakr dipanggil dengan sebutan (pengganti Rasulullah), dan Sayyidina Umar dipanggil dengan Kholifatu kholifati Rosulillah (pengganti kholifahnya Rasululullah), namun kemudian beliau mengganti sebuatn tersebut dengan Amirul Mu’minin (pemimpin kaum muslimin), yang kemudian dipakai oleh kholifah setelah beliau. Istilah yang mirip dengan khilafah adalah imamah, dan kholifah disebut sebagai imam.
Bagaimana hukum mengangkat kholifah ?
Mengangkat kholifah dalam arti pemimpin masyarakat yang mengatur urusan kaum muslimin (ulu-l amri) adalah wajib hukumnya, berdasarkan akal dan naql (dalil Qur’an dan Hadits). Dalil akal : kalau tidak ada pemimpin maka masyarakat akan kacau balau. Dalil naql , Allah SWT berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian pada Allah, taatlah kalian pada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Hanya saja, kholifah secara esensial tidak harus bernama kholifah, namun bisa juga diberi nama presiden (seperti di Indonesia dan Mesir), perdana menteri (seperti di Turki dan Malaysia) atau raja (seperti di Saudi, Yordania dan Maroko)
Apakah ummat Islam sedunia harus di bawah pimpinan satu orang kholifah ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat :
- Pendapat yang mengatakan wajib, seperti dipegang oleh Imam an Nawawi dan bahkan beliau menukil adanya ijma’ tentang hal ini. Pendapat ini dipegang juga oleh kelompok Hizbut Tahrir dengan ideolognya Taqiyuddin an Nabhani.
- Pendapat yang mengatakan tidak wajib, seperti dipegang oleh Imamul Haromain al Juwaini (guru Imam al Ghozali), Abul Hasan al Asy’ari, Abu Ishaq al Isfaroyini dan ulama’ulama’ Malikiyyah seperti Imam al Qurthubi dan Imam asy Syaukani. Pendapat inilah yang sepertinya dipegang oleh mayoritas ummat Islam saat ini, termasuk oleh NU dan Muhammadiyah.
Apakah yang dimaksud khilafah Islamiyyah ?
Ada banyak penafsiran tentang khilafah Islamiyah. Namun menurut saya secara mudah khilafah Islamiyah bisa disebut sebagai pemerintahan Islami (bentuk susunan kalimatnya taushify, jadi khilafah adalah man’ut dan islamiyyah adalah na’at) dan bukan pemerintahan Islam (yang kalau diterjemah dalam bahasa arab menjadi Khilafat-ul Islam). Jika satu pemerintahan bertindak adil, menaungi kebenaran dan memerangi kebathilan, maka ini adalah satu unsur dari pemerintahan yang Islami. Mencari khilafah Islamiyyah yang sempurna (dalam arti semua unsur ajaran Islam dilaksanakan secara paripurna, baik aqidah, syariah, maupun akhlaq) sepertinya tidaklah mungkin, kecuali mungkin di masa Nabi dan Khulafa’ Rosyidun. Jadi, yang bisa kita katakan : semakin banyak unsur ajaran Islam dilaksanakan dalam satu pemerintahan, semakin dia mendekati khilafah yang Islamiyyah. Jadi khilafah Islamiyyah adalah sebuah proses, dan bukan sebuah hasil akhir yang akan terjadi bila telah terpilih seorang kholifah.
Bagaimana syarat-syarat untuk bisa menjadi kholifah ?
Ada banyak pendapat ulama’ tentang syarat imamah (menjadi kholifah), artinya tidak ada pendapat yang seragam dalam kalangan ahli fiqh. Imam al Mawardy dalam kitab al Ahkamus Sulthoniyyah misalnya menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi kholifah seperti laki-laki, sehat jasmani rohani dan sebagainya
Bagaimana dengan hadits fuu bil bay’at-il awwal (tepatilah bay’at pertama) ?
Menafsirkan hadits ini harus hati-hati, karena mengandung beberapa musykilat (problematika) antara lain :
a) apa yang dimaksud dengan bay’at pertama ? Apakah bay’at yang dilakukan pertama kali oleh sekelompok orang tertentu, walaupun ia mungkin tidak berhak memilih sebagai ahl-ul hall-i wa-l aqd-i seperti bay’atnya kelompok pemberontak pada Sayyidina Ali yang oleh beliau kemudian ditolak, dengan menyatakan bahwa dalam urusan ini yang berhak adalah para ahli badr ? (Harap diingat, bahwa definisi dan syarat-syarat ahl-ul hall-i wa-l aqd-i bukanlah sesuatu yang dipahami dan disepakati oleh seluruh ummat Islam). Atau, seperti pertanyaan Imam asy Syaukani, bagaimana mungkin orang Indonesia akan membay’at orang Saudi Arabia misalnya, padahal tempat mereka berjauhan dan tidak saling mengenal satu sama lain?. Menurut asy Syaukani, orang yang mengusulkan ini ia sebut sebagai kurang rasional dan tidak logis.
b) bagaimana jika yang dibay’at pertama kali adalah orang yang tidak berhak menjadi khalifah, seperti Yazid bin Mu’awiyah karena Mu’awiyah berjanji pada Sayyidina Hasan akan menyerahkan urusan penggantinya pada kaum muslimin namun ternyata beliau mengangkat anaknya sebagai kholifah;
c) bagaimana jika pemilik bay’at pertama telah kalah dalam pertempuran pemberontakan, sehingga secara de facto sebenarnya ia telah tidak memiliki kuasa walaupun secara de jure (hukum formal) mungkin masih disebut kholifah, seperti kasus pemberontakan Bani Abbas terhadap Bani Umayyah, dan banyak lagi pergantian kekuasaan yang melewati jalur pemberontakan ? Apakah kemudian Bani Abbas dinyatakan tidak sah, atau mereka akan dinyatakan sebagai penguasa yang sah karena secara de facto telah berkuasa (atau yang lazim disebut dalam ilmu fiqh sebagai waliyy-ul amr-idl dlorury bi-sy syawkah yang oleh orang NU pernah disematkan pada Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin).
BAGAIMANA CARA SUKSESI DALAM FIQH ?
Dalam hal suksesi (pergantian kekuasaan) sebenarnya tak ada prosedur yang didasarkan nash yang pasti (qoth’i) dalam qur’an dan hadits. Namun, berdasar praktek sejarah Islam (dan kemudian dijadikan dasar fiqh) ada 3 cara : pemilihan (baik langsung seperti pada pemilihan Sy. Abu Bakr di Saqifah Bani Saidah dan Sy. Ali dalam kondisi kacau, maupun tidak langsung seperti pemilihan Sy. Utsman oleh tim 6 bentukan Sy. Umar), dengan penunjukan (seperti pemilihan Sy. Umar oleh Sy. Abu Bakr. Cara ini yang paling banyak dipakai dalam kerajaan Islam sejak Bani Umayyah hingga Saudi saat ini) maupun dengan perebutan kekuasaan (bisy syawkah) seperti dalam pendirian Bani Abbas, Bani Fathimiyyah, Bani Umayyah Spanyol dan sebagainya. Jadi, tak ada metode suksesi yang paten dalam ajaran Islam.
Apakah khilafah Islamiyah adalah solusi bagi masalah ummat Islam saat ini ?
Kholifah pada dasarnya adalah institusi politik, seperti presiden atau raja, hanya saja menggunakan istilah bahasa Arab. Karena itu, sejarah membuktikan ada kholifah yang baik dan ada pula yang tidak baik, sebagaimana ada presiden dan raja yang baik dan ada pula yang tidak baik.
Ada kholifah bernama Yazid bin Muawiyah yang menggantikan ayahnya. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun (60 – 63 H.) namun dalam pemerintahannya terjadi tiga peristiwa yang termasuk paling buruk dalam sejarah Islam (pembunuhan Sayyidina Husain cucu Rasulullah dan keluarganya di Karbala, peristiwa Harroh (penghalalan pembunuhan, perampokan dan kejahatan selama 3 hari di Madinah), dan penyerangan terhadap Ka’bah di Makkah. Kholifah Abdul Malik bin Marwan dalam sejarah adalah kholifah besar dari Bani Umayyah. Namun dia memiliki panglima perang yang kejam yaitu al Hajjaj bin Yusuf yang terkenal membunuh banyak ummat Islam, termasuk di antaranya adalah ulama’ besar Said bin Jubair murid Ibn Abbas.
Disamping itu, ada juga kholifah yang baik dan adil. Sejarah mencatat nama Khulafa’ Rosyidun yang empat sebagai orang-orang yang baik dalam memegang amanah. Juga Umar ibn Abdil aziz, Harun ar Rasyid dan al Ma’mun yang membangun peradaban Islam [walaupun al Ma’mun pula yang memulai mihnah kholqil Qur’an (inkuisisi atas dasar isu penciptaan Qur’an) yang menyebabkan banyak ulama’ sunni ditahan, termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal], Abdurrahman an Nashir di Andalusia dan sebagainya.
Jadi, pelaksanaan sistem khilafah atau kholifah ada yang baik dan ada yang buruk yang sangat tergantung pada siapa yang menduduki jabatan tersebut. Mereka yang membaca kitab seperti Tarikh-ul Khulafa’ karya as Suyuthi tahu persis hal ini. Patut dicatat, bahwa dalam sejarah Islam kekuasaan kholifah sangat kuat (powerful) sehingga jika dipegang oleh orang baik maka bisa sangat baik, namun jika dipegang oleh orang yang tidak baik akan menjadi sangat tidak baik. Dalam sejarah Islam juga tercatat bahwa hampir semua pemilihan kholifah adalah berdasar penunjukan oleh kholifah sebelumnya, sehingga dapat memungkinkan terjadinya politik dinasti yang tidak pasti membawa kebaikan pada ummat Islam. Sebagai catatan, hingga saat ini politik dinasti ini masih berlangsung di sebagian besar negara Arab seperti di Arab Saudi, Yordania, Maroko, Syiria, Kuwait dan sebagainya.
Apakah demokrasi adalah sistem yang BERTENTANGAN DENGAN islam ?
Sangat tergantung pada pemahaman kita tentang apa itu demokrasi. Kalau kita mengartikan demokrasi sebagai kebebasan yang tanpa batas (dan itu tak mungkin terjadi), maka demokrasi itu jelek. Kalau kita mengartikan demokrasi adalah kekuasaan rakyat di atas kekuasaan Tuhan (dalam arti atas nama rakyat bisa berbuat sewenang-wenang terhadap agama seperti terjadi di Swiss dalam bentuk pelarangan menara masjid berdasar hasil referendum, pelarangan jilbab di Prancis dan Turki) maka ia jelek adanya. Tapi kalau kita melihat demokrasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan dari rakyat, oleh rakyat dan terutama untuk rakyat, maka hal ini baik adanya.
Ada dua cara untuk meninjau demokrasi. Yang pertama secara filosofis, dan ini yang biasa dipakai oleh penentang demokrasi. Alasan menentang demokrasi adalah karena kekuasaan rakyat dianggap akan menafikan kekuasaan Tuhan dalam arti hukum Allah akan bisa digeser oleh hukum manusia. Dalam hal ini patut ditegaskan dua hal : a) kekuasaan Allah tidak akan berkurang oleh kekuasaan manusia, karena Allah SWT adalah pemilik dan pencipta alam semesta; b) penggeseran hukum Allah dengan hukum manusia juga bisa berlangsung dalam sistem khilafah, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Hal ini karena pelaksanaan hukum Islam sekalipun harus dilaksanakan oleh manusia, sehingga pelanggaran terhadap hukum Islam bisa saja dilakukan oleh penguasa dengan gelar kholifah sekalipun. Kenyataan semacam inilah yang membuat tokoh pemikir sekelas Abul A’la Maududi yang pada awalnya mengusulkan teokrasi (kekuasaan Tuhan) sebagai pengganti demokrasi, akhirnya harus berkompromi dengan membuat konsep teodemokrasi (kekuasaan Tuhan dan rakyat, atau mungkin dimaknai kekuasaan rakyat dengan dasar ketuhanan).
Yang kedua tinjauan praktis yang hanya memahami demokrasi sebagai metode pengambilan keputusan dengan melibatkan rakyat. Misalnya, presiden dipilih oleh rakyat, DPR dipilih rakyat dan lain sebagainya. Keputusan yang dihasilkan oleh mekanisme ini sangat tergantung pada pemikiran yang ada di kalangan rakyat. Jika rakyatnya baik, maka insyaalLah yang terpilih adalah orang-orang baik. Dalam mekanisme semacam ini, hukum Islam bisa berkembang tanpa merubah sistem secara keseluruhan secara frontal (karena hal seperti itu seringkali mengalami kegagalan). Dalam sejarah Indonesia, masuknya UU Perkawinan Islam merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi bisa berpihak pada hukum Islam jika rakyat (dalam arti wakil-wakilnya) mau mendukung. Jika mereka tidak mendukung, maka walaupun UU yang ada telah berdasar hukum Islam, namun dalam pelaksanaannya hampir bisa dipastikan akan mengalami kegagalan. Dalam pemahaman kedua inilah demokrasi tidak mesti bertentangan dengan Islam bahkan bisa saja kompatibel (sejalan) dengan Islam jika memang rakyatnya telah memahami keagungan ajaran Islam.
Perlu diketahui, ada dua jenis demokrasi :
a) Demokrasi prosedural : yakni pengambilan keputusan dari rakyat dan oleh rakyat. Bentuk prosedur demokrasi yang paling jelas dalam hal ini adalah Pemilu (satu hal yang sebenarnya tidak dilarang dalam hukum Islam)
b) Demokrasi Substansial : pengambilan keputusan untuk rakyat. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa 4 kholifah adalah demokrat, dalam arti kebijakan mereka sangat memerhatikan kepentingan rakyat. Ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena kaidah fiqh yang terkenal mengatakan : tashorruful imam alar ro’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijaksanaan pemimpin atas rakyatnya tergantung pada maslahah).
Jadi, demokrasi sebagaimana khilafah, sangat tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan karena hukum Islam sekalipun bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Firman Allah SWT yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan bathil, kemudian kamu bawa kasusnya kepada hakim-hakim supaya kalian bisa memakan harta manusia dengan berdosa sedangkan kalian mengetahui (QS. Al Baqoroh :
Perlukah memperjuangkan hukum Islam dalam negara ?
Perlu, karena sepanjang yang saya ketahui tidak ada hukum yang lebih sempurna dari hukum Islam. Hanya saja harus dipahami 3 hal :
a) hukum Islam mencakup ranah yang sangat luas, mulai dari ibadah, muamalah, munakahah, jinayah dan sebagainya. Hukum Islam juga mencakup madzhab-madzhab dengan beragam pendapatnya. Memasukkannya dalam hukum negara memerlukan pemikiran yang matang dari ummat Islam sendiri. Pengalaman yang ada terkadang adalah madzhab yang dipegang penguasa yang kemudian dijadikan alat penekan kelompok yang lain atas nama Islam, sebagaimana terjadi di masa al Ma’mun yang bermadzhab Mu’tazilah yang menekan kelompok Sunni dalam urusan kholqul Qur’an (apakah al Qur’an makhluq atau bukan), pemerintah Saudi yang mencap ulama’ yang melakukan maulid Nabi sebagai ahli bid’ah yang terkadang diusir dari Saudi (seperti kasus yang terjadi pada Habib Zain bin Sumaith), pemerintah Iran yang menekan muslim Sunni dan sebagainya. Dalam konteks ini, bisa dipahami usulan sebagian kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai inspirasi dan bukan aspirasi, karena dalam konteks hukum ada banyak madzhab yang berkembang dalam sejarah hukum Islam sehingga memilih pendapat mana yang kompatibel untuk suatu tempat tentu saja bukan hal yang mudah, dan memerlukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dari pihak-pihak yang berkompeten. Atau bisa saja kita memakai sistem yang diusulkan Hasan al Banna : bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling menghormati dalam hal-hal yang kita berbeda.
b) Masuknya hukum Islam dalam hukum sebuah negara tidak dengan serta merta menyelesaikan permasalahan ummat, karena masih tersisa masalah penegakan hukum tersebut dan hal ini akan melibatkan faktor manusia (penegak hukum) yang menegakkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : “Sesungguhnya yang menghancurkan ummat sebelum kalian adalah jika ada orang kuat mencuri dibiarkan, dan jika ada orang lemah mencuri maka ditegakkanlah hukum”. Dalam hal ini patut direnungkan kata-kata yang dikutip Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah : “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil walaupun penduduknya kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang dholim walaupun penduduknya muslim”.
قال شيخ الاسلام ابن تيميةرحمه الله
(ولهذا يروى ( الله ينصر الدولة العادلة وان كانت كافرة ( ولا ينصر الدولة الظالمة وان كانت مؤمنة
مجموع الفتاوى
28/63
في
مأثورة لشيخ الإسلام ابن تيميه يقول: “إن الناس لم يتنازعوا في أن عاقبة
الظلم وخيمة، وعاقبة العدل كريمة ولهذا يروى، إن الله ينصر الدولة العادلة
وإن كانت كافرة ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة”.
وما
أدري من أين أتى بتلك "يروى" فقد بحثت في بضع مئات من كتب السنة وحتى
الشيعة وكتب الحكماء فما وجدتها ولربما يتحفنا أحد الإخوة بمكانها
والله الملهم للصواب
c)
Sering sekali kekuasaan merusak agama, dengan menjadikan agama sebagai
faktor pembenar kedholiman sebagaimana dilansir oleh Jamal al Banna
(adik kandung Hasan al Banna). Artinya, agama hanya dijadikan alat
kekuasaan. Karena itu, mungkin perlu direnungkan pemikiran para kyai
kita yang sering lebih mengutamakan perubahan watak manusia yang
mengendalikan sistem dengan perbaikan akhlaq, daripada perubahan sistem
yang terkadang hanya menjadikan agama sebagai alat kekuasaan.Wallahu a’lam bish showab.