MEMAHAMI AT TARKU (SESUATU YANG TIDAK DILAKUKAN
NABI)
Pengertian AT Tarku
Maksud at tarku disini adalah sesuatu yang tidak
dikerjakan nabi dan para salafus sholi, tanpa ada hadis atau riwayat yang
melarang atau memakruhkannya
Belakangan ini banyak orang yang mengharamkan atau
mencela sesuatu dengan berdalil nabi tidak mengerjakannya dan kadang pelarangan
dan pemakruhan ini dilakukan secara berlebihan oleh sebagian orang. Ibnu taimiyah
termasuk yang memakai dan berpegangan dengan dalil ini dalam beberapa
pandangannya.
MACAM AT TARKU
Jika nabi meninggalkan sesuatu maka hal ini bisa
bermakna banyak, dan tak mesti bermakna haram
1. Nabi
meninggalkan karena adat (kebiasaan) seperti dalam kasus dlobb (biawak darat)
panggang yang dihidangkan pada nabi. Nabi tak berkenan memakannya. Saat ditanyakan:
apakah dlobb itu haram? Nabi menjawab: tidak. Tapi binatang ini tak ada
didaerahku, sehingga aku tidak hendak memakannya (HR. Bukhari-Muslim)
Hadist dalam shohihain ini
menunjukkan:
Pertama: jika nabi meninggalkan
sesuatu itu tak menunjukkan sesuatu itu haram
Kedua: menganggap jijik sesuatu tak
menjadikan sesuatu tu haram.
2. Nabi
meninggalkan karena lupa, seperti saat nabi lupa dalam sholat, lalu sahabat
bertanya: apa ada yang berubah dalam sholat? Nabi menjawab: tidak, hanya saja
aku ini manusia biasa yang terkadang lupa. Maka jika aku lupa ingatkanlah.
3. Nabi
meninggalkan karena takut diwajibkan atas ummatnya, seperti nabi meninggalkan
sholat tarawih berjamaah saat para sahabat sudah berkumpul untuk mengerjakannya
4. Nabi
meninggalkan karena hal itu belum terfikirkan, seperti nabi berkhutbah
(berpidato) dengan memegang batang kurna di masjid nabawi. Tak terfikir oleh beliau
untuk membuat mimbar, sampai para sahabat membuat mimbar untuk nabi.
5. Nabi
meninggalkan karena telah masuk keumuman ayat atau hadist seperti sholat dluha.
Nabi SAW. meninggalkanya disebabkan sesuatu itu bebas boleh dikerjakan dan
boleh tidak dikerjakan. Misalnya ibadah-ibadah tathawwu' berupa sedekah,
dzikir, Shalat Dhuha, tilawah Qur'an dan sebagainya. Ibadah-ibadah ini jika
ditinggalkan tidak mengapa dan jika dikerjakan sebanyak-banyaknya maka termasuk
dalam keumuman QS. Al-Hajj: 77وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ“Dan
lakukanlah kebajikan agar kamu beruntung.”
Nabi SAW. tidak melakukan Shalat Dhuha setiap harinya. Itu bukan berarti Beliau ingin memberitahukan bahwa Shalat Dhuha tiap hari itu haram. Begitu juga dzikir seusai shalat terkadang ditinggalkan lantaran perang, menunaikan hak kaum muslimin, dan sebagainya. Ini pun tidak berarti dzikir setiap kali selesai shalat adalah haram.Kebanyakan amalan sunnah termasuk ini, karena tercakup dalam keumuman ayat: dan kerjakanlah kebaikan supaya kalian beruntung (al-hajj: 77)
Nabi SAW. tidak melakukan Shalat Dhuha setiap harinya. Itu bukan berarti Beliau ingin memberitahukan bahwa Shalat Dhuha tiap hari itu haram. Begitu juga dzikir seusai shalat terkadang ditinggalkan lantaran perang, menunaikan hak kaum muslimin, dan sebagainya. Ini pun tidak berarti dzikir setiap kali selesai shalat adalah haram.Kebanyakan amalan sunnah termasuk ini, karena tercakup dalam keumuman ayat: dan kerjakanlah kebaikan supaya kalian beruntung (al-hajj: 77)
6. Nabi
meninggalkan karena menjaga perasaan seluruh sahabat atau sebagiannya. Nabi bersabda
pada siti aisyah: jika bukan karena kaummu baru meninggalkan kekafiran, niscaya
aku akan membongkar bangunan kakbah dan membangunnya kembali sebagaimana
bangunan nabi ibrahim, karena sesungguhanya orang quraisy kurang sempurna dalam
membangunnya” (HR. Bukhari-Muslim). Hadist ini dalam shohihain. Nabi tidak
membongkar ka’bah karena menjaga perasaan kaum beliau yang baru masuk islam.
7. Apabila
Nabi s.a.w. meninggalkan sesuatu, maka boleh diandaikan beberapa wajah/jenis
yang bukan bersifat haram.
8. Nabi
SAW. meninggalkannya karena menjadi khususiyah Beliau. Seperti sikap Rasulullah
yang meninggalkan harta shadaqah, bersamaan shadaqah dianjurkan bagi kaumnya.
Penyebab kaidah tarku dikatakan tidak mu’tabar untuk
beristidlal ada beberapa landasan: Dalam ushul fikih, dalil ijmal yang
berfaedah menunjukkan keharaman hanya 3 macam:1. Lafadz nahi. Seperti (ولا تقربوا
الزنا) dan (ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل).2. Lafadz tahrim. Seperti (حرمت عليكم
الميتة).3. Lafadz yang mencela perbuatan/ancaman siksa. Seperti (.(من غش فليس مناTampak
bahwa tarku sama sekali tidak termasuk dalam dalil ijmal dilalah haram dalam
ushul fikih.
Dalam QS. al-Hasyr: 7 disebutkanوَمَا آتَاُكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”Tidak ada kalimat “وما نهاكم عنه وما تركه فانتهوا”Jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu terbatas pada apa yang dilarang Rasul, bukan pada apa yang tidak dikerjakannya.
Dalam HR. Bukhari tertulis:ما أمرتكم به فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah.”Tidak ditemui juga tambahan kata “وما نهيتكم عنه وما تركته فاجتنبوه”
Dalam QS. al-Hasyr: 7 disebutkanوَمَا آتَاُكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”Tidak ada kalimat “وما نهاكم عنه وما تركه فانتهوا”Jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu terbatas pada apa yang dilarang Rasul, bukan pada apa yang tidak dikerjakannya.
Dalam HR. Bukhari tertulis:ما أمرتكم به فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah.”Tidak ditemui juga tambahan kata “وما نهيتكم عنه وما تركته فاجتنبوه”
Selain itu ada bebrapa kemungkinan makna lain dalam
at tarku yang diketahui oleh mereka yang mempelajari kitab kitab sunnah. Tidak ada
satupun hadits atau riwayat yang dengan tegas menyebutkan bahwa nabi
meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu haram.
AT TARKU TIDAK MENUNJUKKAN HARAM
Dalam ar Rodd-ul muhkam-il matin aku sebutkan bahwa:
At tarku saja, jika tak didukung dalil lain, maka
tak dapat menjadi hujjah untuk melarang sesuatu. Paling paling hanya bisa dikatakan
bahwa meninggalkan hal tersebut disyariatkan, adapun untuk melarang maka hal
ini tak bisa didasarkan pada at tarku saja, tanpa ada dalil lain yang
mengharamkan.
Imam abu sa’id ibn lubb menjelaskan kaidah ini. Beliau
berkata untuk menolak pandangan orang yang memakruhkan berdoa setelah sholat:
jikapun ada riwayat yang menjelaskan bahwa berdoa setelah sholat tidak
dilakukan oleh para salaf, maka hal paling jauh yang bisa diambil dari riwayat jika riwayat ini shohih ini adalah bahwa
berdoa setelah sholat bukanlah amalan salaf. Jika riwayat ini shohih sekalipun,
maka at tarku bukanlah dalil melarang, namun sekedar dalil boleh meninggalkan. Adapun
hukum haram atau makruh maka tak bisa diputuskan dengan at tarku, apalagi dalam
hal yang memiliki dalil umum dalam syarita seperti doa
Dalam al muhalla (2: 245) ibn hazm menjelaskan
istidlal malikiyyah dan hanafiyyah tentang makruhnya sholat 2 rakaat sebelum
maghrib, berdasar ucapan imam ibrohim an nakho’i bahwa abu bakar, umar dan
utsman tidak melakukannya. Ibn hazm berkata: jikapun riwayat ini shohih mak
aini buka dalil melarang sholat 2 rokaat sebelum magrib karena abu bakar, umar,
dan utsman tidak melarangnya
Hanafiyyah dan malikiyyah berdasar pada ucapan ibn umar:
aku tak melihat seorangpun melakukan sholat 2 rokaat sebelum maghrib . ibn hazm
berkata: jikapun ini shohih tak ada dalil untuk melarang karena dalam riwayat ibn
umar tidak ada larangan. Dan kami tidak melarang ibadah sunnah , kecuali jelas
ada larangan hal itu.
Dalam al-muhalla (2: 271) ibn hazm berkata tentang
sholat 2 rokaat setelah ashar: hadits Sy ali tidak bisa dijadikan hujjah,
karena dalam riwayat ini Sy ali hanya menjelaskan bahwa nabi tak pernah sholat
sunnah 2 rokaat setelah ashar. Tak ada penjelasan haram atau makruh dalam
riwayat ini. Nabi tidak pernah puasa sebulan penuh selain romadhon dan hal ini
tidak menunjukkan kemakruhan berpuasa sunnah sebulan penuh. Demikian ibn hazm.
Ini sangat jelas menunjukkan bahwa at tarku tak
menunjukkan Makruh, apalagi haram. Sebagian orang membantah kaidah ini dan bersikeras
bahwa at tarku menunjukkan haram. Ini menunjukkan kebodohan yang parah dan
logika yang sakit. Berikut penjelasannya:
Pertama: dalil keharaman sesuatu ada 3 macam:
1. Shighot
larangan. Seperti:
Jangan kalian mendekati zina
2. Lafadz
tahrim atau haram seperti:
Diharamkan atas kalian bangkai
3. Celaan
atau ancaman sika terhadap perbuatan tersebut, seperti:
Barangsiapa yang menipu kita maka
dia tidak termasuk golongan kita
At tarku tak termasuk dalam lafazdh pengharaman. Ini
menunjukkan at tarku tak menunjukkan haram.
Kedua: Allah Swt berfirman
Apa yang dibawa nabi kepada kalian maka ambillah dan
apa yang nabi melarang kalian maka hentikanlah (al-Hasyr: 7)
Allah swt mengatakan yang dilarang oleh nabi (maa
nahaakum ‘anhu) dan tidak mengatakan apa yang ditinggalkan nabi (maa tarokahu)
Ketiga: nabi muhammad saw bersabda:
Apa yang aku perintahkan kerjakan semampu kalian dan
apa yang aku larang maka jauhilah
Nabi tak mengatakan: apa yang aku tinggalkan (maa
taroktu)
Keempat: definisi sunnah menurut para ulama adalah
perbuatan, ucapan dan taqrir bnabi muhammad
saw. Tak ada ulama yang memasukkan hal yang tidak dilakukan nabi sebagai
sunnah.
Kelima: hukum adalah khitob allah swt. Ulama’ ushul
menjelaskan bahwa yang dimaksud khithob allah adalah sesuatu yang ditunjukkan
oleh al quran, sunnah, ijma’ dan qiyas, at tarku tak bermaksud diantaranya.
Keenam: tark menunjukkan banyak kemungkinan makna
dan kaidah ushul menegaskan:
Sesuatu yang memiliki banyak kemungkinan makna, maka
tak bisa dijadikan dalil
Oleh: sayyid abdullah ibnus shiddiq al ghumary, ahli
hadits al azhar dalam husnut tafakhum wad dark li mas-alatit tark (9-13)
Motivasi: “sungguh kebenaran bisa lemah karena perselisihan
dan perpecahan. Sementara kebatilan kadang menjadi kuat sebab persatuan dan
kekompakan (KH M Hasyim asy’ari)
Sumber:Buletin bulanan Aswaja media dakwah kaum nahdliyyin,
edisi ke-20/jumadil awal 1438 H.
LEMBAGA TA’LIF WAN NASYR (LTN) MWC NU KOTA SUMENEP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar