Jumat, 20 Mei 2016

TENTANG KHILAFAH : PERTANYAAN DAN JAWABAN

TENTANG KHILAFAH : PERTANYAAN DAN JAWABAN
Apa yang dimaksud khilafah ?
Khilafah berasal dari kata kholafa yakhlufu khilafatan, yang bermakna mengganti. Jadi khilafah adalah pengganti Rasulullah, dan orang yang menggantikan sesuatu disebut kholifah. Itulah mengapa Sayyidina Abu Bakr dipanggil dengan sebutan (pengganti Rasulullah), dan Sayyidina Umar dipanggil dengan Kholifatu kholifati Rosulillah (pengganti kholifahnya Rasululullah), namun kemudian beliau mengganti sebuatn tersebut dengan Amirul Mu’minin (pemimpin kaum muslimin), yang kemudian dipakai oleh kholifah setelah beliau. Istilah yang mirip dengan khilafah adalah imamah, dan kholifah disebut sebagai imam.
Bagaimana hukum mengangkat kholifah ?
Mengangkat kholifah dalam arti pemimpin masyarakat yang mengatur urusan kaum muslimin (ulu-l amri) adalah wajib hukumnya, berdasarkan akal dan naql (dalil Qur’an dan Hadits). Dalil akal : kalau tidak ada pemimpin maka masyarakat akan kacau balau. Dalil naql , Allah SWT berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian pada Allah, taatlah kalian pada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Hanya saja, kholifah secara esensial tidak harus bernama kholifah, namun bisa juga diberi nama presiden (seperti di Indonesia dan Mesir), perdana menteri (seperti di Turki dan Malaysia) atau raja (seperti di Saudi, Yordania dan Maroko)
Apakah ummat Islam sedunia harus di bawah pimpinan satu orang kholifah ?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat :
  1. Pendapat yang mengatakan wajib, seperti dipegang oleh Imam an Nawawi dan bahkan beliau menukil adanya ijma’ tentang hal ini. Pendapat ini dipegang juga oleh kelompok Hizbut Tahrir dengan ideolognya Taqiyuddin an Nabhani.
  2. Pendapat yang mengatakan tidak wajib, seperti dipegang oleh Imamul Haromain al Juwaini (guru Imam al Ghozali), Abul Hasan al Asy’ari, Abu Ishaq al Isfaroyini dan ulama’ulama’ Malikiyyah seperti Imam al Qurthubi dan Imam asy Syaukani. Pendapat inilah yang sepertinya dipegang oleh mayoritas ummat Islam saat ini, termasuk oleh NU dan Muhammadiyah.
Hal ini didasarkan kenyataan bahwa ummat Islam terpencar dalam wilayah yang sangat luas, sehingga menyatukannya dalam satu kepemimpinan adalah tidak mungkin. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak Bani Umayyah runtuh oleh pemberontakan Bani Abbas pada tahun 750 M (132 H) hingga saat ini, ummat Islam tidak lagi berada dalam satu kepemimpinan (yakni terbagi 2 : Bani Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah II di Spanyol/Andalusia).
Apakah yang dimaksud khilafah Islamiyyah ?
Ada banyak penafsiran tentang khilafah Islamiyah. Namun menurut saya secara mudah khilafah Islamiyah bisa disebut sebagai pemerintahan Islami (bentuk susunan kalimatnya taushify, jadi  khilafah adalah man’ut dan islamiyyah adalah na’at) dan bukan pemerintahan Islam (yang kalau diterjemah dalam bahasa arab menjadi Khilafat-ul Islam). Jika satu pemerintahan bertindak adil, menaungi kebenaran dan memerangi kebathilan, maka ini adalah satu unsur dari pemerintahan yang Islami. Mencari khilafah Islamiyyah yang sempurna (dalam arti semua unsur ajaran Islam dilaksanakan secara paripurna, baik aqidah, syariah, maupun akhlaq) sepertinya tidaklah mungkin, kecuali mungkin di masa Nabi dan Khulafa’ Rosyidun. Jadi, yang bisa kita katakan : semakin banyak unsur ajaran Islam dilaksanakan dalam satu pemerintahan, semakin dia mendekati khilafah yang Islamiyyah. Jadi khilafah Islamiyyah adalah sebuah proses, dan bukan sebuah hasil akhir yang akan terjadi bila telah terpilih seorang kholifah.
Bagaimana syarat-syarat untuk bisa menjadi kholifah ?
Ada banyak pendapat ulama’ tentang syarat imamah (menjadi kholifah), artinya tidak ada pendapat yang seragam dalam kalangan ahli fiqh. Imam al Mawardy dalam kitab al Ahkamus Sulthoniyyah misalnya menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi kholifah seperti laki-laki, sehat jasmani rohani dan sebagainya
Bagaimana dengan hadits fuu bil bay’at-il awwal (tepatilah bay’at pertama) ?
Menafsirkan hadits ini harus hati-hati, karena mengandung beberapa musykilat (problematika) antara lain :
a) apa yang dimaksud dengan bay’at pertama ? Apakah bay’at yang dilakukan pertama kali oleh sekelompok orang tertentu, walaupun ia mungkin tidak berhak memilih sebagai ahl-ul hall-i wa-l aqd-i seperti bay’atnya kelompok pemberontak pada Sayyidina Ali yang oleh beliau kemudian ditolak, dengan menyatakan bahwa dalam urusan ini yang berhak adalah para ahli badr ? (Harap diingat, bahwa definisi dan syarat-syarat ahl-ul hall-i wa-l aqd-i bukanlah sesuatu yang dipahami dan disepakati oleh seluruh ummat Islam). Atau, seperti pertanyaan Imam asy Syaukani, bagaimana mungkin orang Indonesia akan membay’at orang Saudi Arabia misalnya, padahal tempat mereka berjauhan dan tidak saling mengenal satu sama lain?.  Menurut asy Syaukani, orang yang mengusulkan ini ia sebut sebagai kurang rasional dan tidak logis.
b) bagaimana jika yang dibay’at pertama kali adalah orang yang tidak berhak menjadi khalifah, seperti Yazid bin Mu’awiyah karena Mu’awiyah berjanji pada Sayyidina Hasan akan menyerahkan urusan penggantinya pada kaum muslimin namun ternyata beliau mengangkat anaknya sebagai kholifah;
c) bagaimana jika pemilik bay’at pertama telah kalah dalam pertempuran pemberontakan, sehingga secara de facto sebenarnya ia telah tidak memiliki kuasa walaupun secara de jure (hukum formal) mungkin masih disebut kholifah, seperti kasus pemberontakan Bani Abbas terhadap Bani Umayyah, dan banyak lagi pergantian kekuasaan yang melewati jalur pemberontakan ? Apakah kemudian Bani Abbas dinyatakan tidak sah, atau mereka akan dinyatakan sebagai penguasa yang sah karena secara de facto telah berkuasa (atau yang lazim disebut dalam ilmu fiqh sebagai waliyy-ul amr-idl dlorury bi-sy syawkah yang oleh orang NU pernah disematkan pada Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin).
BAGAIMANA CARA SUKSESI DALAM FIQH ?
Dalam hal suksesi (pergantian kekuasaan) sebenarnya tak ada prosedur yang didasarkan nash yang pasti (qoth’i) dalam qur’an dan hadits. Namun, berdasar praktek sejarah Islam (dan kemudian dijadikan dasar fiqh) ada 3 cara : pemilihan (baik langsung seperti pada pemilihan Sy. Abu Bakr di Saqifah Bani Saidah dan Sy. Ali dalam kondisi kacau, maupun tidak langsung seperti pemilihan Sy. Utsman oleh tim 6 bentukan Sy. Umar), dengan penunjukan (seperti pemilihan Sy. Umar oleh Sy. Abu Bakr. Cara ini yang paling banyak dipakai dalam kerajaan Islam sejak Bani Umayyah hingga Saudi saat ini) maupun dengan perebutan kekuasaan (bisy syawkah) seperti dalam pendirian Bani Abbas, Bani Fathimiyyah, Bani Umayyah Spanyol dan sebagainya. Jadi, tak ada metode suksesi yang paten dalam ajaran Islam.
Apakah khilafah Islamiyah adalah solusi bagi masalah ummat Islam saat ini ?
Kholifah pada dasarnya adalah institusi politik, seperti presiden atau raja, hanya saja menggunakan istilah bahasa Arab. Karena itu, sejarah membuktikan ada kholifah yang baik dan ada pula yang tidak baik, sebagaimana ada presiden dan raja yang baik dan ada pula yang tidak baik.
Ada kholifah bernama Yazid bin Muawiyah yang menggantikan ayahnya. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun (60 – 63 H.) namun dalam pemerintahannya terjadi tiga peristiwa yang termasuk paling buruk dalam sejarah Islam (pembunuhan Sayyidina Husain cucu Rasulullah dan keluarganya di Karbala, peristiwa Harroh (penghalalan pembunuhan, perampokan dan kejahatan selama 3 hari di Madinah), dan penyerangan terhadap Ka’bah di Makkah. Kholifah Abdul Malik bin Marwan dalam sejarah adalah kholifah besar dari Bani Umayyah. Namun dia memiliki panglima perang yang kejam yaitu al Hajjaj bin Yusuf yang terkenal membunuh banyak ummat Islam, termasuk di antaranya adalah ulama’ besar Said bin Jubair murid Ibn Abbas.
Disamping itu, ada juga kholifah yang baik dan adil. Sejarah mencatat nama Khulafa’ Rosyidun yang empat sebagai orang-orang yang baik dalam memegang amanah. Juga Umar ibn Abdil aziz, Harun ar Rasyid dan al Ma’mun yang membangun peradaban Islam [walaupun al Ma’mun pula yang memulai mihnah kholqil Qur’an (inkuisisi atas dasar isu penciptaan Qur’an) yang menyebabkan banyak ulama’ sunni ditahan, termasuk di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal], Abdurrahman an Nashir di Andalusia dan sebagainya.
Jadi, pelaksanaan sistem khilafah atau kholifah ada yang baik dan ada yang buruk yang sangat tergantung pada siapa yang menduduki jabatan tersebut. Mereka yang membaca kitab seperti Tarikh-ul Khulafa’ karya as Suyuthi tahu persis hal ini. Patut dicatat, bahwa dalam sejarah Islam kekuasaan kholifah sangat kuat (powerful) sehingga jika dipegang oleh orang baik maka bisa sangat baik, namun jika dipegang oleh orang yang tidak baik akan menjadi sangat tidak baik. Dalam sejarah Islam juga tercatat bahwa hampir semua pemilihan kholifah adalah berdasar penunjukan oleh kholifah sebelumnya, sehingga dapat memungkinkan terjadinya politik dinasti yang tidak pasti membawa kebaikan pada ummat Islam. Sebagai catatan, hingga saat ini politik dinasti ini masih berlangsung di sebagian besar negara Arab seperti di Arab Saudi, Yordania, Maroko, Syiria, Kuwait dan sebagainya.
Apakah demokrasi adalah sistem yang BERTENTANGAN DENGAN islam ?
Sangat tergantung pada pemahaman kita tentang apa itu demokrasi. Kalau kita mengartikan demokrasi sebagai kebebasan yang tanpa batas (dan itu tak mungkin terjadi), maka demokrasi itu jelek. Kalau kita mengartikan demokrasi adalah kekuasaan rakyat di atas kekuasaan Tuhan (dalam arti atas nama rakyat bisa berbuat sewenang-wenang terhadap agama seperti terjadi di Swiss dalam bentuk pelarangan menara masjid berdasar hasil referendum, pelarangan jilbab di Prancis dan Turki) maka ia jelek adanya. Tapi kalau kita melihat demokrasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan dari rakyat, oleh rakyat dan terutama untuk rakyat, maka hal ini baik adanya.
Ada dua cara untuk meninjau demokrasi. Yang pertama secara filosofis, dan ini yang biasa dipakai oleh penentang demokrasi. Alasan menentang demokrasi adalah karena kekuasaan rakyat dianggap akan menafikan kekuasaan Tuhan dalam arti hukum Allah akan bisa digeser oleh hukum manusia. Dalam hal ini patut ditegaskan dua hal : a) kekuasaan Allah tidak akan berkurang oleh kekuasaan manusia, karena Allah SWT adalah pemilik dan pencipta alam semesta; b) penggeseran hukum Allah dengan hukum manusia juga bisa berlangsung dalam sistem khilafah, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Hal ini karena pelaksanaan hukum Islam sekalipun harus dilaksanakan oleh manusia, sehingga pelanggaran terhadap hukum Islam bisa saja dilakukan oleh penguasa dengan gelar kholifah sekalipun. Kenyataan semacam inilah yang membuat tokoh pemikir sekelas Abul A’la Maududi yang pada awalnya mengusulkan teokrasi (kekuasaan Tuhan) sebagai pengganti demokrasi, akhirnya harus berkompromi dengan membuat konsep teodemokrasi (kekuasaan Tuhan dan rakyat, atau mungkin dimaknai kekuasaan rakyat dengan dasar ketuhanan).
Yang kedua tinjauan praktis yang hanya memahami demokrasi sebagai metode pengambilan keputusan dengan melibatkan rakyat. Misalnya, presiden dipilih oleh rakyat, DPR dipilih rakyat dan lain sebagainya. Keputusan yang dihasilkan oleh mekanisme ini sangat tergantung pada pemikiran yang ada di kalangan rakyat. Jika rakyatnya baik, maka insyaalLah yang terpilih adalah orang-orang baik. Dalam mekanisme semacam ini, hukum Islam bisa berkembang tanpa merubah sistem secara keseluruhan secara frontal (karena hal seperti itu seringkali mengalami kegagalan). Dalam sejarah Indonesia, masuknya UU Perkawinan Islam merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi bisa berpihak pada hukum Islam jika rakyat (dalam arti wakil-wakilnya) mau mendukung. Jika mereka tidak mendukung, maka walaupun UU yang ada telah berdasar hukum Islam, namun dalam pelaksanaannya hampir bisa dipastikan akan mengalami kegagalan. Dalam pemahaman kedua inilah demokrasi tidak mesti bertentangan dengan Islam bahkan bisa saja kompatibel (sejalan) dengan Islam jika memang rakyatnya telah memahami keagungan ajaran Islam.
Perlu diketahui, ada dua jenis demokrasi :
a)      Demokrasi prosedural : yakni pengambilan keputusan dari rakyat dan oleh rakyat. Bentuk prosedur demokrasi yang paling jelas dalam hal ini adalah Pemilu (satu hal yang sebenarnya tidak dilarang dalam hukum Islam)
b)      Demokrasi Substansial : pengambilan keputusan untuk rakyat. Dalam pengertian ini, kita bisa mengatakan bahwa 4 kholifah adalah demokrat, dalam arti kebijakan mereka sangat memerhatikan kepentingan rakyat. Ini tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena kaidah fiqh yang terkenal mengatakan : tashorruful imam alar ro’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijaksanaan pemimpin atas rakyatnya tergantung pada maslahah).
Jadi, demokrasi sebagaimana khilafah, sangat tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan karena hukum Islam sekalipun bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi penguasa sebagaimana terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Firman Allah SWT yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan bathil, kemudian kamu bawa kasusnya kepada hakim-hakim supaya kalian bisa memakan harta manusia dengan berdosa sedangkan kalian mengetahui (QS. Al Baqoroh :
Perlukah memperjuangkan hukum Islam dalam negara ?
Perlu, karena sepanjang  yang saya ketahui tidak ada hukum yang lebih sempurna dari hukum Islam. Hanya saja harus dipahami 3 hal :
a) hukum Islam mencakup ranah yang sangat luas, mulai dari ibadah, muamalah, munakahah, jinayah dan sebagainya. Hukum Islam juga mencakup madzhab-madzhab dengan beragam pendapatnya. Memasukkannya dalam hukum negara memerlukan pemikiran yang matang dari ummat Islam sendiri. Pengalaman yang ada terkadang adalah madzhab yang dipegang penguasa yang kemudian dijadikan alat penekan kelompok yang lain atas nama Islam, sebagaimana terjadi di masa al Ma’mun yang bermadzhab Mu’tazilah yang menekan kelompok Sunni dalam urusan kholqul Qur’an (apakah al Qur’an makhluq atau bukan), pemerintah Saudi yang mencap ulama’ yang melakukan maulid Nabi sebagai ahli bid’ah yang terkadang diusir dari Saudi (seperti kasus yang terjadi pada Habib Zain bin Sumaith), pemerintah Iran yang menekan muslim Sunni dan sebagainya. Dalam konteks ini, bisa dipahami usulan sebagian kelompok yang ingin menjadikan Islam sebagai inspirasi dan bukan aspirasi, karena dalam konteks hukum ada banyak madzhab yang berkembang dalam sejarah hukum Islam sehingga memilih pendapat mana yang kompatibel untuk suatu tempat tentu saja bukan hal yang mudah, dan memerlukan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) dari pihak-pihak yang berkompeten. Atau bisa saja kita memakai sistem yang diusulkan Hasan al Banna : bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling menghormati dalam hal-hal yang kita berbeda.
b) Masuknya hukum Islam dalam hukum sebuah negara tidak dengan serta merta menyelesaikan permasalahan ummat, karena masih tersisa masalah penegakan hukum tersebut dan hal ini akan melibatkan faktor manusia (penegak hukum) yang menegakkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : “Sesungguhnya yang menghancurkan ummat sebelum kalian adalah jika ada orang kuat mencuri dibiarkan, dan jika ada orang lemah mencuri maka ditegakkanlah hukum”. Dalam hal ini patut direnungkan kata-kata yang dikutip Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah : “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil walaupun penduduknya kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang dholim walaupun penduduknya muslim”.
قال شيخ الاسلام ابن تيميةرحمه الله

(ولهذا يروى ( الله ينصر الدولة العادلة وان كانت كافرة ( ولا ينصر الدولة الظالمة وان كانت مؤمنة
مجموع الفتاوى
28/63

في مأثورة لشيخ الإسلام ابن تيميه يقول: “إن الناس لم يتنازعوا في أن عاقبة الظلم وخيمة، وعاقبة العدل كريمة ولهذا يروى، إن الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة”.
وما أدري من أين أتى بتلك "يروى" فقد بحثت في بضع مئات من كتب السنة وحتى الشيعة وكتب الحكماء فما وجدتها ولربما يتحفنا أحد الإخوة بمكانها
والله الملهم للصواب
c) Sering sekali kekuasaan merusak agama, dengan menjadikan agama sebagai faktor pembenar kedholiman sebagaimana dilansir oleh Jamal al Banna (adik kandung Hasan al Banna). Artinya, agama hanya dijadikan alat kekuasaan. Karena itu, mungkin perlu direnungkan pemikiran para kyai kita yang sering lebih mengutamakan perubahan watak manusia yang mengendalikan sistem dengan perbaikan akhlaq, daripada perubahan sistem yang  terkadang hanya menjadikan agama sebagai alat kekuasaan.
Wallahu a’lam bish showab.

Tentang Nishfu Sya'ban

Tentang Nishfu Sya'ban
Dalam bulan Sya'ban ada satu malam yang diagungkan, penuh barokah dan dihormati yaitu malam Nishfu Sya'ban. Di malam ini Allah SWT menampakkan ampunan dan rohmatNya. maka Allah mengampuni yang mohon ampun dan merahmati yang memohon rohmat, memberi kelapangan pada mereka yang susah, membebaskan dari neraka dan menetapkan rizki dan amal.
ada banyak riwayat hadits tentang keutamaan malam ini, yang tidak kosong dari kelemahan atau keterputusan sanad. sebagian riwayat dishohihkan oleh al Hafidh Ibn Hibban.di antara riwayat-riwayat tersebut adalah
:
1. Diriwayatkan ath Thobroni dan Ibn Hibban dari Mu'adz bin Jabal dari Nabi SAW : Allah memandang pada hambaNya pada malam Nishfu Sya'ban, maka mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin (orang yang bermusuhan).

2. Diriwayatkan al Baihaqi dari Sayyidah Aisyah ra. bahwa Nabi bersabda : Jibril mendatangikuan berkata : Ini adalah malam Nishfu Sya'ban Di malam ini Allah mengampuni manusia lebih banyak dari jumlah bulu kambing Bani Kalb. Allah tidak memandang pada orang musyrik, yang bermusuhan, pemutus silaturrahim, orang yang menurunkan pakaiannya melebihi mata kaki (karena sombong), orang yang durhaka pada kedua orang tuanya juga peminum khomr ...
3. Diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Amr ra : Allah memandang pada makhlukNya di malam Nishfu Sya'ban, dan Allah mengampuni hambanya kecuali 2 orang : yang bermusuhan dan yang membunuh. Sanadnya lemah sebagaimana disebutkan al Hafidh al Mundziri.
4. Diriwayatkan at Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Sayyidah Aisyah ra. : Aku kehilangan Nabi (di suatu malam), lalu aku keluar (mencari beliau). Ternyata beliau ada di Baqi' mengangkat kepala ke langit dan beliau bersabda ; wahai Aisyah. Apakah engkau khawatir Allah dan RasulNya mengurangi hakmu?. Aku (Aisyah) berkata : aku sangka engkau mendatangi istri yang lain. Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah 'turun' di malam Nishfu Sya'ban ke langit dunia dan mengampuni kepada manusia lebih banyak dari jumlah bulu kambing Bani Kalb.
5. Diriwayatkan al Bazzar dan al Bayhaqi dari Abu Bakr ash Shiddiq ra, dari Nabi beliau bersabda : Allah SWT 'turun' di malam Nishfu Sya'ban ke langit dunia, dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik dan orang yang ada permusuhan di dalam hatinya. Sanadnya tidak bermasalah (laa ba'sa bih) sebagaimana dikemukakan al Hafidh al Mundziri.
6. Diriwayatkan al Bayhaqi dar Makhul dari Katsir bin Murroh (seorang tabiin) dari Nabi SAW : Di malam Nishfu Sya'ban Allah SWT mengampuni penduduk bumi kecuali orang musyrik dan yang bermusuhan. al Bayhaqi berkata : Ini hadits mursal yang baik.
-- demikian dikutip dari kitab Maa Dzaa Fi Sya'ban susunan al Muhaddits as Sayyid Muhammad Alawi al Maliki (66 - 71)
Pendapat Para ulama Tentang Malam Nisfu Sya'ban
1. Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali berkomentar tentang malam nisfu sya'ban dalam kitabnya Lathoiful Ma'arif hal. 199-201:
ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻮﻥ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺸﺎﻡ ﻛﺨﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﻣﻌﺪﺍﻥ ﻭ ﻣﻜﺤﻮﻝ ﻭﻟﻘﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ ﻭ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻳﻌﻈﻤﻮﻫﺎ ﻭ ﻳﺠﺘﻬﺪﻭﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭ ﻋﻨﻬﻢ ﺃﺧﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻀﻠﻬﺎ ﻭ ﺗﻌﻈﻴﻤﻬﺎ
Dan malan nishfu sya’ban adalah malam yang para tabi’in negara syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman Bin Amir dan yang lainnya mereka mengagungkan malam Nishfu Sya’ban dan mereka bersungguh sungguh dalam beribadah dimalam tersebut. Dan dari merekalah umat islam mengambil faham keutamaan dan keagungannya.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar melanjutkan:
ﻭ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺸﺎﻡ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺇﺣﻴﺎﺀﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻟﻴﻦ : ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺇﺣﻴﺎﺅﻫﺎ ﺧﻤﺎﻋﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ . ﻛﺎﻥ ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﻣﻌﺪﺍﻥ ﻭ ﻟﻘﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ ﻭ
ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻳﻠﺒﺴﻮﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﺣﺴﻦ ﺛﻴﺎﺑﻬﻢ ﻭ ﻳﺘﺒﺨﺮﻭﻥ ﻭ ﻳﻜﺘﺤﻠﻮﻥ ﻭ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻟﻴﻠﺘﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﻭ ﻭﺍﻓﻘﻬﻢ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺭﺍﻫﻮﻳﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻭ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﻗﻴﺎﻣﻬﺎ ﻓﻲ
ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﺟﻤﺎﻋﺔ : ﻟﻴﺲ ﺫﻟﻚ ﺑﺒﺪﻋﺔ
Ulama Syam berbeda pendapat dalam menghidupkan malam Nishfu Sya’ban :
Pendapat Pertama:
Disunnahkan menghidupkannya secara berjamaah dimasjid. Dan para ulama tersebut diatas mereka mengenakan pakaian yang paling bagus yang mereka miliki serta membakar kayu harum dan
menggunakan celak. Mereka sholat di masjid pada malam itu. pendapat ini disetujui oleh Ishaq Ibnu Rahawih dan beliau berkata ”Ini bukan sebuah bid’ah”
Imam Syafi'i berkata:
ﻭ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ : ﺑﻠﻐﻨﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻳﺴﺘﺠﺎﺏ ﻓﻲ ﺧﻤﺲ ﻟﻴﺎﻝ : ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ , ﻭ ﺍﻟﻌﻴﺪﻳﻦ , ﻭ ﺃﻭﻝ ﺭﺟﺐ , ﻭ ﻧﺼﻒ ﺷﻌﺒﺎﻥ
Telah sampai berita kepada kami bahwa doa akan di Kabul di lima malam, malam jum’at, malam 2 hari raya, dan Awal Rajab Dan Nifsu Sya’ban.
2. Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkirotul Khufadz juz. 4 hal. 1328 disaat menjelakan biografi Ibnu Asyakir beliau berkata:
ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺑﻦ ﻋﺴﺎﻛﺮ , ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺘﺼﺎﻧﻴﻒ ... ﻗﺎﻝ ﻭﻟﺪﻩ ﺍﻟﻤﺤﺪﺙ ﺑﻬﺎﺀ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ : ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻮﺍﻇﺒﺎ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻭ ﺍﻟﺘﻼﻭﺓ , ﻳﺨﺘﻢ ﻛﻞ ﺟﻤﻌﺔ , ﻭﻳﺨﺘﻢ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ , ﻭ ﻳﻌﺘﻜﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﺎﺭﺓ ﺍﻟﺸﺮﻗﻴﺔ – ﻣﻦ ﺟﺎﻣﻊ ﺩﻣﺸﻖ – ﻭ ﻛﺎﻥ ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﻨﻮﺍﻓﻞ ﻭ ﺍﻻﺫﻛﺎﺭ , ﻭ ﻳﺤﻴﻲ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻨﺼﻒ – ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ – ﻭ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻭ ﺍﻟﺬﻛﺮ
Al-Hafidz Ibnu Asyakir seorang hafidz muhaddits Syam yang mempunyai banyak karangan, seorang putra Ibnu Asyakir, yaitu Baha Uddin Al-Qosim berkata “Ayahku (Ibnu Asyakir) selalu berjamaah serta membaca Al-Qur’an dan khatam tiap jum’at dan setiap hari dibulan Ramadhan dan selalu beri’tikaf di menara Asyarqiyah Damaskus. Beliau
selalu memperbanyak sholat sunnah, Dzikir, menghidupkan malam Nisfu sya’ban serta malam ‘id dengan sholat dan Dzikir .
3. Al-Imam Ibnu Haj dalam kitabnya Al-Madkhal juz. 1 hal. 257 berkata tentang Malam Nisfu Sya'ban:
ﻭ ﺑﺎﻟﺠﻤﻠﺔ ﻓﻬﺬﻩ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﻭ ﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻓﻠﻬﺎ ﻓﻀﻞ ﻋﻈﻴﻢ ﻭ ﺧﻴﺮ ﺟﺴﻢ , ﻭ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻳﻌﻈﻤﻮﻫﺎ ﻭ ﻳﺸﻤﺮﻭﻥ ﻟﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﺇﺗﻴﺎﻫﺎ , ﻓﻤﺎ ﺗﺄﺗﻴﻬﻢ ﺇﻻ ﻭﻫﻢ ﻣﺘﺄﻫﺒﻮﻥ ﻟﻠﻘﺎﺀﻫﺎ ﻭ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﺤﺮﻣﺘﻬﺎ , ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺪ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﺣﺘﺮﺍﻣﻬﻢ ﻟﻠﺸﻌﺎﺀﺭ
Fasal malam nishfu sya’ban:
Kesimpulannya, “Malam Nishfu sya’ban meskipun bukan malam lailatul Qadar akan tetapi adalah malam yang mempunyai keutamaan yang sangat agung dan kebaikan yang sangat banyak. Ulama salaf mengagungkannya
serta bersungguh-sungguh dalam menyambut kedatangannnya. Dan tidak datang malam Nishfu sya’ban kecuali mereka sudah siap menghidupkannya seperti yang telah diketahui dari mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang
mengagungkan syiar Allah.
4. Ibnu Taimiyah panutan wahabi berkata tentang malam nisfu sya'ban dalam Majmu' Fatawa juz. 23 hal. 131:
ﺇﺫ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻭﺣﺪﻩ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﻛﺎﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻃﻮﺍﺗﻒ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻬﻮ : ﺣﺴﻦ - ﻣﺨﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺝ 23 ﺹ 131
Apabila ada seseorang sholat dimalam
Nishfu Sya’ban dengan sendirian atau berjama’ah sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin itu merupakan hal yang baik”.
Dilanjutkan pada hal. 132:
ﻭ ﺃﻣﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻓﻘﺪ ﺭﻭﻱ ﻓﻲ ﻓﻀﻠﻬﺎ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻭ ﺍﺛﺎﺭ , ﻭ ﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﻃﺎﺀﻓﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺃﻫﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﻓﻴﻬﺎ , ﻓﺼﻼﺓ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺣﺪﻩ ﻗﺪ ﺗﻘﺪﻣﻪ ﻓﻴﻪ ﺳﻠﻒ ﻭﻟﻪ ﻓﻴﻪ ﺣﺠﺔ ﻓﻼ ﻳﻨﻜﺮ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﺍ , ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻓﻬﺬﺍ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻋﺎﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺘﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﺎﻋﺎﺕ ﻭ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ
Adapun keutamaan malam Nisfu Sya’ban telah diriwayatkan dari beberapa hadits dan atsar serta sejumlah dari ulama salaf,sesungguhnya mereka menghidupkannya dengan sholat. Adapun sholat seseorang dengan sendirian dimalam Nishfu Sya’ban cara seperti itu telah dilakukan oleh ulama salaf dan dengan dalil-dalil yang jelas maka hal ini tidak boleh diingkari. Adapun sholat jamaah yang mereka lakukan dimalam Nisfu Sya’ban ini berdasarkan atas qaidah umum bahwa dianjurkan berkumpul dalam melakukan ketaatan dan ibadah.
Setelah Mereka yang mencederai hadits-hadits malam nishfu sya'ban, akhirnya mereka berkata bahwa tidak ada perbedaan diantara bulan sya’ban dan bulan lainnya.
Akan tetapi kebanyakan ulama salaf telah mengutamakan (menghidupkan) malam Nishfu Sya’ban sebagaimana nash riwayat yang jelas dari Imam Ahmad karena banyaknya hadits yang menjelaskan tentang keutamaannya dan juga karena banyaknya perkataan dari para ulama salaf yang tersebut dalam kitab musnad-musnad dan sunan-sunan, meskipun memang ada beberapa riwayat yang lain yang dipalsukan.”
Wassalam
Dari FB Ust. Bahrur Rasid Jember